Masalah pendatang gelap merupakan masalah krusial bagi negara manapun dalam menghadapi imigran dari luar negeri. Negri jiran sekalipun cukup dipusingkan dengan masalah pendatang haram dari Indonesia sehingga menimbulkan rasa antipati terhadap pendatang dari negara tetangga yang kadang disebut dengan kata berkonotasi negatif Indon. Akhir-akhir ini Jepang, kantor imigrasi Jepang semakin memperketat jalur masuk dan ijin tinggal para imigran di Jepang. Tapi tetap saja yang namanya pendatang gelap punya trik-trik baru untuk mengakali peraturan baru keimigrasian. Kelihatannya semakin ketat peraturan akan semakin menantang para pendatang gelap untuk memanipulasi celah-celah kecil peraturan keimigrasian.
Iklan layanan masyarakat untuk mematuhi peraturan keimigrasian termasuk larangan tinggal di Jepang sebagai imigran gelap
Beberapa bulan terakhir, berita mengenai pendatang gelap atau dalam bahasa Jepang 不法滞在 (Fuhou Taizai) asal Filipina yang memiliki anak yang lahir dan besar di Jepang ramai menghiasi media Jepang. Arlan Cruz Calderon (36) dan istrinya Sarah terbukti melanggar peraturan keimigrasian dengan menggunakan paspor palsu untuk mendapatkan ijin tinggal di Jepang selama 17 tahun. Jaman dulu mungkin Arlan bisa saja memanipulasi data yang dikerjakan pihak imigrasi secara manual. Tetapi setelah belasan tahun lewat dan imigrasi Jepang mulai dilengkapi sistem komputerisasi canggih membuat penipuan belasan tahun tersebut terbongkar. Masalahnya, Sarah melahirkan anak bernama Noriko Calderon 13 tahun yang lalu di negara yang menganut prinsip jus sanguinis seperti Jepang. Kewarganegaraan Noriko menurut sistem Jepang adalah Filipina dan ketika kedua orang tuanya dideportasi kembali ke Filipina, menurut peraturan Noriko juga harus dideportasi. Noriko yang lahir dan besar di Jepang dididik dan bergaul didalam dan luar rumah dengan bahasa Jepang, bahkan untuk berkomunikasi dengan kedua orangtuanya sekalipun. Noriko sama sekali tak bisa berbahasa Tagalog (bahasa Filipina), sehingga bisa dikatakan Noriko secara mental dan sosial budaya adalah orang Jepang. Berkat simpati masyarakat Jepang terhadap Noriko, pihak imigrasi Jepang memutuskan bahwa Noriko berhak tinggal dan menyelesaikan sekolahnya di Jepang. Anda bisa membaca tulisan tentang kisah Noriko bawah ini.
http://community.kompas.com/read/artikel/2532
Kasus lainnya terjadi didepan mata kepalaku sendiri ketika aku sedang mengurus masalah administrasi di kantor imigrasi. Detail kejadiannya tentu saja aku tidak tahu pasti, tetapi berkat petugas administrasi yang terdengar kesal membuat suaranya yang cukup keras bisa didengar orang-orang yang berada disekitar front office imigrasi. Adalah seorang pria Vietnam yang menikah dengan wanita Jepang datang ke kantor imigrasi untuk mengurus ijin tinggal di Jepang. Pria tersebut memperlihatkan surat nikahnya dengan wanita Jepang dengan status duda cerai terhadap mantan istrinya (orang Vietnam juga) yang tinggal di Vietnam. Tanggal perceraian dan pernikahan barunya tidak berselisih terlalu jauh sehingga menimbulkan kecurigaan pihak imigrasi Jepang. Mungkin bagi orang lain hal ini tidak aneh, tetapi bagi pihak imigrasi Jepang yang semakin hari semakin super ketat hal ini termasuk mencurigakan. Entah bagaimana akhir dari kisah pria Vietnam ini, yang pasti sang petugas administrasi menyuruhnya pulang terlebih dahulu.
Mengenai kasus yang dialami orang Indonesia tentunya cukup banyak kuketahui, baik dari pihak kenalanku yang kabur (biasanya disebut OS: Over Stay) maupun dari cerita orang-orang yang berhubungan dengan orang OS. Yang masih lekat diingatanku adalah kasus kaburnya 20 penari yang datang untuk menampilkan tarian tradisional di stand Indonesia dalam AICHI EXPO (AICHI BANPAKU) pada tahun 2005. Setelah acara EXPO selesai, 20 penari yang dijadwalkan pulang lenyap dari hotel tempat mereka menginap. Yang lebih memalukan, kasus 20 penari kabur inii menghiasi acara berita Televisi Jepang. Selain kasus pelajar dan (pendatang dengan visa) turis kabur, prosentase OS terbesar mungkin berasal dari 研修生- Kenshusei atau pekerja training (magang) yang kabur sebelum kontraknya berakhir.
Stand Indonesia dalam Aichi Expo 2005 tempat 20 penari tradisional manggung sebelum kabur
Akhir-akhir ini orang-orang OS merasakan penderitaan menjadi OS di Jepang dengan semakin buruknya perekonomian Jepang akibat krisis ekonomi global. Bayangkan saja, tinggal di Jepang yang dikenal dengan biaya hidupnya yang mahal tetapi dengan penghasilan (gaji) yang semakin menipis akibat pabrik tutup ataupun pengurangan tenaga kerja. Orang asing yang tinggal secara legal di Jepang saja sudah mulai mengap-mengap, bagaimana dengan yang tinggal secara gelap? Selain selalu khawatir tertangkap polisi/pihak imigrasi dan hidup berpindah-pindah, ditambah dengan kondisi ekonomi yang semakin parah membuat hidup sebagai OS di Jepang semakin sulit. Kita semua tahu kalau alasan utama pendatang gelap adalah motif ekonomi. Jika motif tersebut tidak membuat perekonomian mereka semakin membaik, entah apa yang akan mereka lakukan. selain pilihan alternatif "menyerahkan diri" untuk dipulangkan ke Indonesia. Selain itu, citra orang asing yang tinggal legal di Jepang semakin jelek dengan keberadaan orang-orang OS (baca tulisan link diatas).
Bagaimana dengan pendapatku sendiri tentang pendatang gelap? Menurutku sih jika awalnya sendiri sudah berbohong, maka rentetan panjang kebohongan itu akan terus berlanjut untuk menutupi kebohongan pertamanya. Aku banyak melihat bagaimana orang-orang OS justru memperdayai orang lain (termasuk saudaranya sebangsa dan setanah air) demi eksistensi dan keuntungan pribadi mereka. Dengan kata lain, aku tidak setuju dengan kehadiran pendatang gelap dan aku sendiri tidak tertarik untuk menjadi pendatang gelap itu sendiri.
link tulisan lain yang berhubungan:
Imigran Gelap di Indonesia