2009/11/08

Move.....

I move this blog to wordpress for easier comment moderation.

2009/10/13

Nara-Kyoto-Osaka 2009 (first episode)

I must admit that I am not a real backpacker, at least not a fully backpacker. I have done travel a lot without backpack and usually every travel would be planned carefully. Last month, me and 2 of my friends TCS and AG planned to go to triangle city in Kansai region for tourist spot (Nara, Kyoto and Osaka) by a car. Too bad, TCS canceled the plan cause he was broke as he said, and we must canceled everything because we don't have any driver to drive the car (TCS is the only one from us who has car drive license).


興福寺 (Koufuku-Ji) in Nara

AG never went to the Kansai's triangle city before and very excited with the plan. As an alternative transportation, he started to browse the net to search for 乗り放題(norihoudai) ticket train and he found it in the JR (Japan Railway) program. In commemoration of 鉄道の記念 (Tetsudou no Kinen-Railway Day), JR group was selling special tickets that allow unlimited travel along all its lines in Japan for 3 days. That was just appropriate with our plan, 3 days unlimited travel ticket for 3 days travel plan. The only one problem was our lodging for 2 night during the travel and we only found 2 kinds of lodge types with lower price, capsule hotel and manga cafe. But we would decide that later, after arrived in the city.


二月堂 (Nigatsudou - The Hall of second month) in Todaiji complex area.

By carrying our backpack, we embarked our journey to Nara, an ancient city which was served as Japan capital city during Nara period (710-784). As the Buddhism influence was very strong along the Nara period, there are lots of Buddhist temples you can find in Nara e.g. Kofukuji, Saidaiji, Kasuga Jinja, Nigatsudou, but we went directly to the most famous one, 東大寺 (Todaiji). The Todaiji's 大仏殿 (Daibutsuden-Great Buddha Hall) was claimed as the largest wooden building in the world, an ancient one and still stand until now. Meet the 大仏 (Daibutsu-Large Buddha) statue when you enter the hall, it might be the most ancient large Buddha statue ever made (752) in Japan, although it has been rebuild after destroyed by fire twice.


Shika (deers) between tourists in foreground of Todaiji main gate.


大仏殿 (Daibutsuden - Great Buddha Hall) inside Todaiji complex area

You can visit 奈良公園 (Nara Kouen-Nara Park) which is located near by The Todaiji complex area. You can find a lot of 鹿 (Shika-Deer) in there and feed them with 鹿煎餅 (shika senbei-deer crackers). Well, the shika deer looks very tame if you feed them, even you can touch and flatter them.


心斎橋筋(Shinsaibashi-suji) at night, the Osaka's main shopping area.

When it was getting dark, we start to discuss about our lodge and decide to search it around Shinsaibashi district, Osaka. We took local train toward Osaka station and move to subway train with destination Shinsaibashi. After walked about 1 hour, we meet a Japanese who deal advertising leaflet about manga cafe (or internet cafe) and asked him about the manga cafe whose he promoted. When we ask about thrift price, he told us (by whispering) to go to Dotonbori area and showed a manga cafe with special price and cheaper than the manga cafe that he promoted. Wow, I never expected that he would be very kind to give us information about his manga cafe's competitor. Maybe he just did the arubaito (part-time job), but I am still gratefully give him my appreciate. Thanks to him, we enjoyed 1200 yen/8 hours in manga cafe with internet connection, games, free manga to read, free drinks and shower (with surcharge), and also a place to rest sleep through the night.


道頓堀 (Dotonbori) at night, the manga cafe is located on the right side of street.


Next posting: Kyoto

2009/10/06

Winning Eleven/ Pro- Evolution Soccer Tournament

Sejak tinggal di Jepang, aku sama sekali tak pernah menyentuh cosole permainan Sony Playstation apalagi memainkannya. Untuk memainkan game Winning Eleven (WE) alias Pro Evolution Soccer 2009 (PES 2009), aku terpaksa menggunakan komputer. Masalahnya, main WE atau PES tanpa lawan tanding (non komputer) masih sulit dilaksanakan karena kenalan yang punya hobi main game ini masih kurang. Satu-satunya orang yang kukenal suka main WE/PES adalah PrS dan hanya dengan dia aku sering berlatih tanding. Sedangkan teman lain yang bernama WLN kayaknya kurang hobi main WE/PES karena hampir tak pernah kulihat memainkannya.



Di tempat kerja part-time, salah seorang kenalan Jepang bernama Shuuhei ternyata suka juga main WE, ditambah lagi Nguyen anak Vietnam karyawan sesama part-time sekaligus tetangga di Kaikan (dormitory) juga hobi main WE lewat console Playstation 2. Ditambah WLN, jadilah kami bersepakat main bersama dengan mengambil tempat tanding di aula Kaikan. Nguyen mengajak 3 teman Vietnam-nya, kami bertiga dari Indonesia dan Shuuhei, keseluruhannya 8 orang membuat turnamen dengan sistem gugur.


Terbiasa main PES 2009 dikomputer ternyata berakibat buruk dalam memainkannya lewat console PS2. Walaupun level permainanku cuma medioker, tapi jarang-jarang kalah dibantai banyak gol. Dalam turnamen kali ini, aku harus gugur dibabak awal melawan Nguyen yang akhirnya menjadi juara dengan skor telak 4-1. Aku merasa aneh sekali memainkan game yang sama lewt console PS2, baik dari segi reflek jari dalam menekan tombol maupun gerakan para pemain sepak bola dalam PES 2009 yang menurutku berbeda antara versi komputer dan PS2.

Pertandingan final yang diakhiri adu penalti

PrS yang sama-sama gugur dibabak awal dan terbiasa memakai PES 2009 versi komputer mengusulkan untuk turnamen berikutnya supaya menggunakan sistem home-away. Para pemain yang terbiasa menggunakan PS2, bermain dengan komputer untuk pertandingan away. Begitu juga sebaliknya dengan kami yang terbiasa menggunakan komputer sebagai pertandingan kandang. Yah, paling tidak kalau sampai kalah dibantai dengan banyak gol dengan sistem ini, tak ada alasan lagi untuk berkelit tentang level bermain PES yang ternyata sangat rendah.

NB.
Kain sarung yang kupakai ternyata menimbulkan pertanyaan dan keingin tahuan Shuuhei dan Nguyen. Apakah kain sarung sama dengan celana panjang? sarung sama dengan baju?

2009/09/20

Lebaran di Jepang........ lagi

Seorang teman menanyakan padaku tentang lebaran di Jepang
"Kiape kabarnye,de jepun mikak lebaran juak ke???"
Arti: "Gimana kabarnya, di jepang kalian lebaran juga nggak???"


Muslim dan Muslimat yang belum pernah mengalami merayakan Idul Fitri di luar negeri, terutama di negara yang mayoritas penduduknya non-muslim, tentu bertanya-tanya seperti apa kondisi dan cara merayakannya. Seperti juga di Jepang yang notabene kebanyakan penduduknya beragama Buddha KTP alias Shinto abangan (tidak pernah ibadah ke Kuil Budha ataupun Jinja secara reguler kecuali ada perlu), umat muslim yang merayakan Idul Fitri mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan gaya hidup penduduk mayoritas.


Sebelum sholat Ied dimulai, para jamaah di luar ruangan Conference Hall Act City Hamamatsu yang tak kebagian tempat di dalam ruangan.

Tahun ini (lebaranku yang ke 4 di Jepang), perayaan Idul Fitri 1 Syawal 1430 H bertepatan pada hari minggu tanggal 20 September 2009 menyebabkan jumlah para peserta sholat Ied membelundak. Bagaimana tidak, hari minggu adalah hari libur yang bertepatan pada Gorenkyuu (hari libur beurutan 5 hari) dari sabtu hingga rabu menyebabkan banyak muslim yang bekerja ataupun sekolah memiliki waktu luang. Di kota tempatku tinggal sendiri yang panitianya menyediakan ruang Conference Hall di Act City cukup kewalahan menampung para jamaah sholat Ied sehingga banyak jamaah yang terpaksa sholat di luar ruangan. Malah menurut temanku yang ikut sholat Ied di Nagoya, penyelenggara mendapatkan ijin melaksanakan ibadah sholat di lapangan luar daerah terbuka yaitu Shirokawa Park. Sungguh hebat panitia sholat Ied Nagoya ini, untuk mendapatkan ijin ibadah dalam jumlah jamaah besar di dalam ruangan saja sulit, mendapatkan ijin pemda Nagoya untuk melakukannya di lapangan luar dengan resiko menarik perhatian orang banyak ternyata berlangsung dengan sukses. Anda tahu sendiri, di Indonesia saja intel bertebaran dimana-mana ketika orang ramai berkumpul mendengarkan ceramah atau pidato, apalagi di luar negeri yang notabene penduduknya mendapatkan pasokan informasi dari media barat yang penuh dengan isu terorisme dan isu pendatang gelap. Sukses buat panitia sholat Ied Nagoya!


Suasana setelah sholat Ied 1 Syawal 1430 Hijriah di Act City

Bagaimana dengan para muslim yang bekerja disaat lebaran, baik Idul Fitri maupun Idul Adha? Seperti yang kita ketahui, Jepang adalah negara industri yang sangat disiplin. Walaupun kita bisa saja minta ijin atau cuti di hari H satu atau setengah hari, tetapi jika skedul perusahaan sedang sibuk, jangan harap bisa memperoleh ijin. Hal yang sama juga berlaku bagi pelajar yang sedang menuntut ilmu di Jepang. Jika bentrok dengan waktu kuliah, silahkan bolos kuliah. Hanya saja tidak semua dosen yang terlalu ambil pusing dengan absen, jadinya pandai-pandai diri mengatur waktu. Kalaupun siswa yang bersangkutan masih bersekolah di SD, SMP atau SMU, mungkin dapat meminta pengertian guru sekolah bersangkutan. Karena itu, jika hari lebaran bertepatan dengan jadwal sholat Ied bisa dibilang merupakan berkah bagi mereka yang bekerja atau bersekolah.

Suasana sholat Ied 1430 Hijriah di Shirokawa Koen, Nagoya (foto oleh Iwan)

Setelah sholat Ied, kira-kira apa yang dilakukan? Jika mengacu pada kondisi di Indonesia terutama di kampung-kampung, bisa dipastikan sangat meriah dipenuhi dengan ajang silaturrahmi antar tetangga, sahabat dan handai tolan. Di jepang (dan kukira sama dengan di negara berpenduduk mayoritas non-muslim lainnya), umat muslim biasanya berkumpul di Masjid (jika ada) atau rumah salah seorang kenalan sambil berbagi makanan khas lebaran yang jarang disantap seperti ketupat. Tahun ini aku sendiri ikut serta di Masjid untuk bersilaturrahmi bersama umat muslim lainnya (walaupun yang kukenal dari para jamaah hanya belasan orang). Di Tokyo sendiri biasanya pihak KBRI menyediakan tempat sholat Ied sekaligus ruang untuk bersilaturrahmi setelah sholat Ied atau juga Dubes RI untuk Jepang mengadakan open house, lengkap dengan sajian penganan khas lebaran juga.


Suasana setelah sholat Ied 1 Syawal 1430 Hijriah di Shirokawa Park, Nagoya (foto oleh Iwan)


Setelah itu barulah masing-masing orang pulang ke rumah dan menghubungi pihak keluarga di Indonesia, baik orang tua maupun sanak saudara dengan telepon ataupun lewat jaringan internet. Bagaimanapun juga, suasana lebaran bagi yang jauh dari orang tua terasa sepi. Karena itu berbahagialah bagi anda yang berlebaran di kampung halaman dan dapat langsung mencium tangan orang tua selagi sempat dan masih memiliki waktu. Aku sendiri hanya bisa membayangkan wajah kedua orang tuaku sambil bersilaturrahmi lewat telepon dengan beliau.

Akhir kata, saya mengucapkan selamat Idul Fitri 1430 H. Mohon ma'af lahir dan bathin jika ada kata yang salah selama saya menulis di blog ini. Semoga Allah SWT mengijinkan kita kembali bertemu dengan bulan Ramadhan yang penuh rahmat tahun depan.

2009/09/01

Maafkan aku Indonesiaku

Duhai Indonesiaku
Maafkanlah diriku
Karena telah meremehkanmu
Setelah berpisah 4 tahun yang lalu

Melihat semrawutnya lalu lintas mu
Merasakan kacaunya tatanan sosial masyarakatmu
Meragukan keamanan yang terlihat semu
Membuatku merendahkanmu

Duhai Indonesiaku
Sejak kembali kepangkuanmu
Aku selalu merasa resah dalam bahaya
Selalu berhati-hati dan waspada

Mataku melirik kanan kiri dengan curiga
Khawatir akan marabahaya
Oleh orang-orang disekitar
Entah copet, maling, atau rampok mencari mangsa

Duhai Indonesiaku
Dibanding negeri tempatku sekarang menuntut ilmu
Aku memang telah melecehkanmu
Tetapi aku telah terlanjur tetap mencintaimu

Maafkan aku Indonesiaku

Home Sweet Home, O My Bitter Homeland

Mudik! Ya, pulang ke negri asal tercinta. Memang sih, bisa pulang juga karena ada urusan dokumen dan tetek bengek lainnya. Tetapi bagaimanapun juga setelah empat tahun merantau ke negara orang tetap saja pulang untuk pertama kalinya mempunyai kesan tersendiri. Ada kesan positif maupun negatif yang kurasakan ketika mencoba mengikuti alur kehidupan kota pinggiran Jakarta, bisa dibilang sebagai upaya adaptasi ulang lingkungan yang pernah kujalani. Tulisan ini tak lebih dari sekedar cara pandangku terhadap perubahan setelah 4 tahun tak pernah berjumpa dengan suasana Indonesia.

Keluarga

Tentu saja tujuan utamaku pulang adalah bertemu dengan keluargaku yang hanya kudengar suaranya saja lewat telepon selama 4 tahun, walaupun alas an pulang secara resmi adalah mengurus dokumen. Ayahku terlihat semakin tua, ibuku juga demikian, kakak tertuaku masih berkerja layaknya pegawai perusahaan swasta Jakarta yang bolak-balik tempat bekerja dan rumah pagi dan petang, adikku yang berstatus mahasiswa tingkat dua tapi lebih keranjingan nge-band dibandingkan belajar hingga membuat orang tuaku geleng-geleng kepala (aku sendiri bingung menghadapinya). Sempat terpikir pulang berkunjung ke Belitung, tapi tak kesampaian. Malah saudara sepupuku datang dari Belitung dan membawa oleh-oleh Mie Bongpin untuk bahan dasar pembuatan Mie Rebus Belitung buatan ibuku yang enaknya ampun-ampunan itu. Selama dirumah, perut dan lidahku benar-benar dimanja oleh masakan ibuku terutama masakan Belitung yang tak pernah kurasakan lagi selama 4 tahun terakhir.


Surat Ijin Mengemudi (SIM)

Salah satu dokumen yang diurus adalah memperpanjang masa pemberlakuan SIM yang telah habis masanya beberapa bulan yang lalu. Aku baru tahu kalau SIM mati kurang dari satu tahun bisa diperpanjang (di Jepang, tenggang waktu hanya 6 bulan saja). Seperti yang telah kutulis mengenai proses memperoleh SIM sebelumnya di kantor urusan SIM Jepang (Menkyou Center), kali ini aku ingin agar data-data diriku dalam SIM Indonesia tertera dengan benar agar tak mendapatkan dampratan lagi dari si polantas Jepang. Nyatanya tetap saja tinggi badanku tak sesuai dengan kenyataan. Kali ini aku komplain pada pak polisi tentang tinggi badanku yang tertera di SIM lebih pendek 5 cm dari tinggi asliku. Pak polisi yang kukomplain malah bilang, "Enggak penting itu, yang penting nama dan alamatku benar!" Malah bapak bertubuh pendek yang menerima SIM sebelumku bilang tingginya di SIM tertera lebih dari semestinya. Kalau misalnya tinggi badan tidak penting, buat apa tertera dengan jelas di SIM? Bukannya sebaiknya dihapus saja dari pada menimbulkan persoalan dikemudian hari (seperti aku misalnya). Karena masih panjang dibelakangku orang mengantri untuk mengambil SIM, terpaksa aku mundur (selain karena komplainku tak direspons). Sekarang aku terpaksa memikirkan strategi baru untuk menjawab pertanyaan yang kira-kira akan dilancarkan oleh polisi Jepang nanti tentang tinggi badan yang berbeda saat mengurus SIM Jepang.


Foto diambil dari lantai 5 Ritz-Carlton Jakarta Pacific Palace, sekitar jalan Sudirman.


Transportasi dan lalu lintas

Masya Allah! Itu yang terlintas dalam pikiranku ketika pertama kali ikutan boncengan dibelakang motor dan melihat cara berkendara sepeda motor orang-orang disekitar. Aku sudah menduga kalau supir angkutan kota (angkot) akan berkelakuan seenaknya, akan tetapi pengendara motor rupanya tak kalah gila-gilaannya. Mereka meluncur mengendarai motor bebeknya bagaikan pilot pesawat zero Jepang pada masa perang pasifik yang tak takut mati melancarkan serangan Kamikaze, bertaruh nyawa demi sampai tujuan lebih dulu dari pengendara lainnya. Benar-benar "mengagumkan" sekaligus membuat hati miris melihat pengendara sepeda motor begitu gagah berani, berani mati, rela bertaruh nyawa demi hal remeh seperti itu. Aku masih takut naik motor sendiri untuk mengarungi rimba jalanan dengan hukum padang pasirnya.

Selain itu juga aku melihat betapa hukum jalanan para pengendara yang berlaku di Jepang dan Indonesia sangat jauh berbeda, terutama yang kucermati adalah penggunaan klakson. Klakson agak jarang digunakan di Jepang, tapi di Indonesia ternyata berkebalikan. Klakson menjadi alat untuk berkomunikasi sesama pengendara bagaikan bebek ber-kwek-kwek satu sama lain. Misalnya saja di tikungan yang arah berlawanannya tak terlihat. Jaman dulu selalu digunakan kaca cembung yang ditempatkan persis di sudut tikungan (sama dengan Jepang hingga sekarang) untuk mencegah kecelakaan. Akan tetapi sekarang kaca cembung malah tak terlihat sama sekali di tikungan, entah memang tak terpasang atau lebih parahnya lagi dicuri oleh maling tak tahu diri yang tak perduli betapa tindakannya bisa merenggut nyawa orang lain. Sebagai gantinya sebelum belok ditikungan, klakson dibunyikan keras-keras supaya pengendara di arah berlawanan sadar ada pengendara lain menuju dirinya sehingga dia lebih berhati-hati. Belum lagi klakson dan kedipan lampu untuk menyatakan "aku mau duluan" yang justru artinya "silahkan duluan" di aturan tak tertulis pengendara Jepang. Kalau pengendara Jepang menyetir di Jakarta, dapat dipastikan dia tidak akan menabrak orang lain, melainkan ditabrak orang.

Paling tidak aku melihat ada sedikit perbaikan manajemen PJKA dalam hal pembelian tiket kereta listrik. Di setiap stasiun kereta terlihat orang antri membeli tiket dan di setiap pintu masuk stasiun terlihat petugas perobek (peremas?) karcis untuk memastikan setiap penumpang membeli karcis naik kereta listrik. Walaupun masih jauh dari sempurna, paling tidak ada usaha untuk "memaksa" penumpang tidak naik gratisan walaupun dengan tiket kereta yang luar biasa murah. Hal lain yang kulihat tak mengalami perubahan berarti adalah gerombolan penumpang atap gerbong kereta. Sekali lagi aku melihat betapa gagah berani dan berani mati bertaruh nyawa demi hal remeh tak mau berdesakan didalam gerbong. Apakah orang Indonesia masih sama gagah berani dan mau bertaruh nyawa demi hal yang lebih positif seperti memberantas korupsi dan ancaman pembesar yang menteror mereka, dengan keberanian yang sama ketika menghadapi masalah lalu lintas?

2009/07/20

Storm at the peak of Mount Fuji

I have posted this stuff in my other blog in Bahasa Indonesia. This posting is just an English version, because I'm just to tired (or lazy) to make a new vision.

This year is my second time to do (富士登山) (Fujitozan - climb mount Fuji) after I did it before at 2005 without any satisfaction, because I couldn't make it to watch sunrise from the peak of mount Fuji. It was cloudy and I found that the peak had shrouded with mist that you would never saw anything beyond 5 meters. So this year, I join my other 3 mates to conquer mount Fuji and fulfill my hope to watch the sunrise from the peak.

Maybe our preparations were not very good, at least I have been checked the weather forecast that during our climb schedule days, the weather will be 曇り時々晴れ (cloudy occasionally clear). I hope that the clear weather will overcome the cloudy. Everything seems to be fine and we were starting to climb about 7 o'clock in afternoon from 五合目 (Gogoume - the fifth station), Fujinomiya. Nothing special happen during our climb until we were arriving at 九合目 (Kyuugoume - the ninth station) when the storm has come. One of my friend feels not so well and decided to quit and wait until the storm over then return to Gogoume. The rest three of us, including me, still curious to conquer the mount even in the rainstorm and keep our trudge continued.


At the peak of mount Fuji. Shrouding by rainstorm

We were reaching the 3776 meters of mountain peak and found that rainstorm was not passing over yet, it was more and more wilder than before and forced us sheltering in a Jinja (Shinto's shrine) with another hikers. After waiting 5 hours and there was no sign that the rainstorm will over yet, we decide to hike down before dusk and dark have shrouding us and make it harder to trek down the mountain.


During hiking down. Storm was not passing over yet

Slowly but sure, we set out from the Jinja and trek down step by step toward Kyuugoume, Hachigoume and finally Nanagoume. From Nanagoume, pouring rain has became drizzled although it still strong wind but our trek was getting easier. At Gogoume, we reunite with our friend that had return earlier and all of us can go home from rainstorm at the peak of mount Fuji safe and sound.

How about watch sunrise from mount Fuji's peak? Just forget it! We didn't find a clear weather, let alone watch the sunrise. Glad to reach my dormitory without any serious injury, only some scratches and contusion on my knee. Well, I think I will hate stairs for three days, at least. :(

NB.
I found this news later and it happened at the same day with our climbing day. I feel very lucky that I am still breathing right now. Thanks God....

2009/07/07

Wish upon a star at Tanabata

笹の葉 さらさら
Sasa no ha sara-sara
軒端にゆれる
Nokiba ni yureru
お星様 キラキラ
Ohoshi-sama kira-kira
金銀砂子
Kingin sunago


The bamboo leaves rustle, rustle,
Shaking away in the eaves.
The stars go twinkle, twinkle;
Gold and silver grains of sand.

(Traditional Tanabata song)


Today is the Tanabata day.
What is Tanabata?
Tanabata, “the night of the seventh”, is a holiday usually celebrated on July 7th every year. It has roots in the Chinese Qi Xi festival, but has a unique character in Japanese culture. It is primarily celebrated at night time when the stars are in view. Many local areas held the festivals in parks around July 7th, and there is often a call for people to turn off their lights in the evening so that the stars, Vega and Altair, will be more easily visible.


The hanging wish papers on the bamboo branch. Hirose-kun took the branch from somewhere.

As many festivals around the world, Tanabata also have several folk tales behind the festival. The most famous folklore originated from Chinese legend about love story between Niulang (Altair) the cow herder and Zhinu (Vega) the beautiful fairy. If you ever heard the legend of Jaka Tarub and Seven Goddess you will find similarities between them including the plot of Niulang steal the fairy’s clothes. You can find their tragic love story in another site if you want. This story give several cultural impact to China and even influence Japan, Korea and Vietnam's culture with their own story version. The Chinese legend was passed to Japan during the feudal period and combined with traditional local customs to become an official event at the Imperial Court. Soon, commoners began observing this festival with different localities developing their own distinctive ways of celebrating. Niulang’s Japanese version was called Hikoboshi (cow herder star) and Zhinu version as Orihime (weaving princess).

The original Tanabata date was based on the Japanese lunisolar calendar, which is about a month behind the Gregorian calendar. As a result, some festivals are held on July 7, some are held on a few days around August 7, while the others are still held on the seventh day of the seventh lunar month of the traditional Japanese lunisolar calendar, which is usually in August in the gregorian calendar.


Hirose-kun hanging the wish paper to the bamboo branch

Recently in Japan, people celebrate Tanabata by writing wishes or sometimes with poems on a small piece of paper and hanging or tied them on bamboo branch with some other decoration. To ensure secrecy, the bamboo is placed into a nearby river or burned after the festival ends. Originally, these wishes were meant to be for increased abilities or talents, but today can be any wish deeply desired.

The Tanabata Festival is celebrated throughout Japan with a variety of carnivals and customs. Many regions hold decoration competitions or parades, and some even have beauty pageants to crown a Miss Tanabata. Special decorations like paper kimono and cranes are hung to ask for specific blessings such as long life or good business. Colorful paper streamers decorate the streets in honor of the strips of cloth used by the weaver of the legend.

We also celebrate Tanabata in our laboratory by write our wish on a small piece of paper and hanging it on a bamboo branch. Takero write a wish if he can take a cute cat as his pet. Dai-chan wish a peace world without violence (hehehe... seriously???), The others wish to get a good job after graduate from university, since the economy crisis hit Japan and make it harder to get. I just wish for good health and wealth in my life, a wish to the supreme God, not to the star.

2009/06/10

Happy Birthday to my Mom

Dedicated for my mother

Haha means mother, a kanji (chinese character) written on pond-side in our campus

It’s not a common thing that your acquaintances have their birthdays in one day. But today 5 of my acquaintances born in the same date according to Gregorian calendar, that is 10th June. One of them is my mother who lives in Indonesia. Another four are my second supervisor Prof. Wakiya, our lab Associate Professor Dr. Sakamoto and two undergraduate students who did their research in our lab. Kisena-chan and Fukamachi-kun.

(from left) The birthday cakes for Prof. Wakiya, Dr. Sakamoto and Kisane-chan


Make a wish (or maybe more)

We made a small celebration party for them with four small and cute birthday cakes which bought collectively by us in this afternoon. During the party, suddenly I remember with my mother in Indonesia. How is she? Is she well being? Is she celebrating her birthday in Indonesia? I rarely call my mother, but this time I will spare my time to call her even just to say congratulation for her 55th anniversary. I love you mom. Happy birthday and wish you well and healthy in there.


Kubo-kun and Imai-kun are cutting the birthday cakes

2009/06/01

The 18th Yamaha’s Hamamatsu Jazz Week and My Musical Taste



Yamaha music has known as one of leading musical instrument manufacturer around the world and as one of the biggest electronic manufacturer in Hamamatsu city, Yamaha hold an anniversary Jazz event in Hamamatsu that named Hamamatsu Jazz Week.

The Jazz performance has carry out in Hamamatsu city for 1 week in several stages including street stage like Zaza city and in front of Hamamatsu station’s north gate (gratis), at restaurant’s stage and Hamamatsu Act City’s concert hall (with ticket). Except Jazz performance, there are also Jazz coach clinic that invite several jazz professional artists. This year, the 18th Hamamatsu Jazz Week was held in 23rd – 31st May, 2009.


I grew up with influence of my father’s musical taste. He also introduced me and my younger brother how to play guitar and keyboard. My father was a small timer musician in our hometown Tanjung Pandan, Belitung by playing bass and mainly keyboard with his band Setia Nada (then later Billitonite 5). During my father's younger day when he was still living in Jogjakarta, he often to listen to Rock musician legend like Led Zeppelin, Deep Purple, etc and also Jazz performer like Duke Ellington, Louis Armstrong until Chick Correa and Al Jarreau. Contradicted to me, cause I spent all my childhood days in a small island. My only musical resources was my parent's cassette collection. That's why I frequently listen to my mother’s Bee Gees and another Indonesian old song cassettes until I have no other cassette choice than my father’s collection.

P-pro band

At the first, I took Led Zeppelin and Deep Purple during my junior high school days and I love it at once. During that day, Guns and Roses and Bon Jovi became my friend’s rock band favorite and also Boys Band as well. Well…. I like some of them either, but nothing compared to Jimmy Page, Jon Lord, Freddy Mercury and their compatriot. Then, when I was in senior high school days I start to listen to my father’s Jazz collections. First time, it just like a lot of noise sounds in my ear especially the mainstream jazz standard. I wonder why my father loves them so much, even his friends who live in Jakarta sent him a lot of Jazz cassettes when he knew that my father likes Jazz a lot (like himself). Curiosity.... maybe that was the point. Gradually, my ear start to receive Fusion Jazz, Big Band and Latin Jazz that easier to listen. Now, I can even enjoy the Jazz mainstream genre. Off course, sometimes my friend saw me just like a strange boy who enjoy Jazz than another popular genre. When I was studying in university, my classmates sometimes ask me why I prefer the old crack rockers and Jazz. You know my answer.

Violet Brass Band


Fujimori Trio and Suzuki Mami

Back to the main topic, Hamamatsu Jazz Week. During my part-time job, there are some Jazz live performances like Big Band, quartet and trio jazz group in the restaurant that I work as waiter. But because I have to focus on my job, I couldn’t even enjoy their music. I couldn’t leave my experiment in my lab and part-time job, but luckily I got free time at this Sunday weekend at the end of Jazz Week day. So I went to the last performance that held at 2 different places. First, I went to concert hall in Act City building but a lady asked me the entrance ticket (3.000 ~ 8.000 yen) that I didn’t have. So, I went to the other stage at the north gate of train station. It was free, it was gratis! I spent my time enjoying Jazz from 12:00 until 5:00. There were 5 performers in that day and I saw full performance from 4 of them, not bad.

2009/05/21

Malunya ikut tes memperoleh SIM di Jepang

Sengaja kali ini aku membuat tulisan dengan bahasa Indonesia karena agak malu juga diriku bercerita tentang keburukan administrasi di negara sendiri.

Tanggal 18 Mei 2009 minggu lalu, aku pergi ke Menkyo Senta (kantor satlantas Jepang) untuk mengajukan permintaan penukaran unten menkyo (surat ijin mengemudi alias SIM) mobil dari SIM Indonesia menjadi SIM Jepang. Sebenarnya SIM Internasional dari beberapa negara diakui oleh satlantas Jepang, tetapi sayangnya SIM internasional dari Indonesia termasuk diantara SIM internasional yang tidak diakui, sehingga bagi pemilik SIM luar Jepang (tapi tak diakui) yang ingin mengendarai mobil/motor > 50cc mau tidak mau harus tukar SIM menjadi SIM Jepang. Bagi yang ingin tahu lebih jauh tentang pengalaman sulitnya memperoleh SIM di Jepang boleh membaca cerita mas Iwan diblog bawah ini:
Susahnya nyari SIM di Jepang


Tes bagi orang asing yang ingin menukar SIM meliputi 4 tahap yaitu wawancara, tes kesehatan (mata dan buta warna), tes tulis peraturan lalu lintas dan tes praktek. Tadinya tahap tes yang paling kukhawatirkan adalah tes praktek menyetir mobil yang kudengar dari pengalaman beberapa kenalan cukup sulit untuk langsung lulus sekali praktek. Ternyata aku malah langsung mendapatkan cobaan diawal yaitu pada saat wawancara.

Karena aku sudah memperoleh SIM motor gentsuki (baca tulisanku disini), petugas pewawancara meminta SIM motor Jepang plus SIM C (untuk motor dari Indonesia) asli untuk menyertai SIM A yang sudah kuserahkan sebelumnya. Disinilah letak permasalahannya dimulai. Dua SIM yang kumiliki ternyata menyimpan masalah yang sangat serius jika anda berada di Jepang. Silahkan bandingkan SIM A dan SIM C milikku dibawah ini:





Coba perhatikan data yang ditunjukkan dengan panah merah! Orang yang memiliki nama sama, alamat sama, foto sama, sidik jari sama, tanda tangan sama, diambil pada hari yang sama, dikantor satlantas yang sama, dengan cap dan tanda tangan Dirlantas yang sama, tapi ada dua data remeh yang berbeda dan membuat curiga polisi Jepang.
Data pada SIM A
Tinggi: 173 cm
Pekerjaan: Swasta

Data pada SIM C
Tinggi: 165 cm
Pekerjaan: Pelajar/Mahasiswa

Kalau anda polisi Jepang dan bertugas sebagai pewawancara bagi pemohon SIM Jepang, apakah tanggapan anda? Menganggap pemohon sebagai penipu? Menganggap negara asal si pemohon nggak benar ngurus administrasi? Atau menganggap satlantas negara si pemohon tukang kibul? Setengah bercanda (atau mengejek) beliau bertanya bagaimana cara tinggi badanku bisa bertambah 8 sentimeter dalam waktu satu hari. Hahahaha....

Untungnya walaupun si petugas galak dan aku habis diomelin sampai malu nggak bisa ngomong, dia tetap saja mengijinkan aku ikut tes tulis. Tetapi sebelum itu, aku tetap diwawancara secara detail tentang proses aku mengambil SIM di Indonesia dari cara daftar, ujian tulisnya berapa soal, bahan ujian tulis, hingga tes praktek. Untungnya aku pernah ikut ujian yang sebenarnya sampai tak lulus beberapa kali sebelum akhirnya terpaksa nembak..... uppssss....



Setelah diwawancara, aku ikut ujian tulis dan berhasil lolos untuk mengikuti ujian praktek mengendarai mobil. Ada 4 rute yang tersedia dan aku memperoleh bagian ujian di rute nomor 4. Sayangnya di ujian praktek aku harus mengakui kalau aku gagal. 3 orang yang ikut tes hari itu (2 orang lainnya adalah orang Brazil yang ikut sekolah menyetir) semuanya gagal dan diharuskan mengkuti ujian praktek lagi minggu yang akan datang. Sebelum dibubarkan, si petugas galak itu kembali menguliahi kami kembali tentang betapa menyetir mobil di Jepang sama saja dengan mempertaruhkan nyawa diri sendiri dan juga nyawa orang lain. Karena itu sebelum mengikuti ujian praktek diminggu yang akan datang, beliau menekankan agar kami belajar peraturan negara Jepang dalam berkendara di jalan. Toh kalau gagal lagi, yang rugi waktu dan uang adalah kami sendiri.

2009/05/03

Hamamatsu Matsuri


I won’t write a lot in this posting, just upload some pictures that I took from central Hamamatsu to show you about Hamamatsu Matsuri (まつりor Festival). Actually the main event in Hamamatsu Matsuri is the three days kite festival (3rd, 4th and 5th May) where every 町 (Chou/Machi or town) in Hamamatsu city will send their representative group to fight each other through their kite in the sky until the supreme one kite flying unmatched.
A group from Tenmachou - 天馬町 during preparation

A group from Chitosechou - 千歳町 during preparation

The kite event performed during the day until afternoon and it will followed by parade of 御殿屋台 - Goten Yatai (A cart which is decorated beautifully) from every Chou/Machi in Hamamatsu at night. Every Goten Yatai accompanied by the Chou/Machi’s representative group (Gumi – 組) who carrying the Goten Yatai cart when the younger female playing Japanese traditional music by drumming a small drum or even taiko (big drum) and playing flute and shamisen (Japanese three string guitar) inside the cart.

Goten Yatai Parade during Hamamatsu Matsuri

I wonder what was that man doing on the top of Goten Yatai during parade?

Wait for a moment and take a rest a while before pull/push the cart again

Young girls inside Goten Yatai in white costum playing drum and shamisen

Sorry, I can't clearly read the letter that written on the lampion. It is their town's name.

Representative group from Tamachi - 田町

2009/04/07

Sakura, Hanami dan Sakuramichi

Catatan: Untuk memperbesar gambar, silahkan klik foto yang bersangkutan.

Awal bulan April adalah masa bunga Sakura mekar di Jepang. Orang Jepang yang seumur-umurnya tinggal di Jepang saja masih menantikan mekarnya Sakura, apalagi orang asing seperti aku yang cuma numpang tinggal di Jepang beberapa waktu saja. Seperti halnya gunung Fuji dan Kyoto, Sakura adalah salah satu dari tiga hal Jepang yang tak bosan-bosannya kunanti untuk dilihat.



Kastil Hamamatsu (didirikan oleh Shogun pertama dari klan Tokugawa, Tokugawa Ieyasu) pada musim semi



Jinja (Shrine) kecil disamping Kastil Hamamatsu

Mekarnya bunga sakura sangatlah cepat, hanya memiliki waktu selama 3 minggu saja untuk dinikmati. Karena itu setiap orang Jepang seakan-akan melakukan suatu ritual khusus untuk menikmati bunga Sakura. Yang paling dikenal adalah acara Hanami dan Sakuramichi. Sebenarnya hal ini bukanlah ritual melainkan sebuah kebiasaan di awal musim semi untuk melihat dan mengagumi bunga Sakura yang berumur pendek. Hanya 3 minggu, setelah itu anda harus menunggu satu tahun lagi.



Acara Hanami di Taman Hamamatsu-Jo. Orang-orang menggelar terpal dibawah pohon Sakura untuk Hanami



Jalur masuk utama Taman Hamamatsu-Jo

花見- Hanami (Hana = bunga ; mi = melihat) adalah acara kumpul-kumpul sambil gelar tikar (bisa juga matras, terpal atau lainnya) sambil menikmati pemandangan bunga Sakura mekar. Biasanya Hanami dilakukan orang Jepang sambil minum sake dan makan-makanan kecil (jaman sekarang malah ada yang barbeque). Menurut kabar, jaman dulu malahan orang-orang berlomba-lomba membuat puisi dan haiku (sajak Jepang) memuji keindahan Sakura pada saat acara Hanami.



Bunga Sakura mekar disepanjang jalan anak sungai Dankogawa (sungai Danko) di Tomizuka-cho



Jalan setapak untuk Sakuramichi ditepi Dankogawa. Jika mekarnya Sakura rimbun, jalan setapak terlihat mirip lorong dengan atap bunga Sakura

桜道- Sakuramichi (michi = jalan) adalah acara jalan kaki sambil menikmati bunga Sakura yang pohonnya tumbuh berjejeran di sepanjang jalan yang memang ditata khusus. Didaerah-daerah tertentu terutama dipinggir jalan kecil ataupun sungai, pohon Sakura sering kali ditanam dengan posisi khusus sehingga kalau bunganya mekar akan membentuk jejeran rimbun bunga Sakura yang indah untuk dipandang. Dibandingkan dengan Hanami, acara Sakuramichi kurang populer (sama dengan acara jalan-jalan, hanya saja pas kebetulan musim sakura).

Foto-foto diatas diambil di tepi sungai Danko daerah Tomizuka-cho (daerah tempat tinggalku), Kastil Hamamatsu dan Taman Hamamatsu-Jo, Propinsi Shizuoka dengan menggunakan Ponsel Casio Exilim W53CA dengan kamera 5.1 Megapixels..

2009/04/05

Pindahan........


Apartment lama tampak dari samping/depan.

Akhirnya setelah masuk daftar tunggu setahun, dapat juga jatah tinggal di Kokusai Kouryuu Kaikan (disingkat kaikan saja supaya gampang) milik universitas yang biaya sewa kamarnya super murah. Cuma 6 ribu yen/bulan! Bandingkan dengan sewa apartement lama ku yang termasuk "murah" seharga 23 ribu yen/bulan. Tentu biaya tempat tinggal ini sangat membantu diriku yang termasuk mahasiswa biaya sendiri, maklumlah otakku jauh dari encer untuk mendapatkan beasiswa. Memang sih ukuran kamarnya 2x4, lebih sempit dibanding apartment lama yang berukuran 3.5x4.5, namun didalam kaikan sudah tersedia ranjang, meja, lemari, kulkas dan juga termasuk pendingin/pemanas ruangan.



Apartemen lama (kiri) tampak dari belakang dan asrama mahasiswa kaikan (kanan) tampak dari depan.

Mungkin yang agak mengganggu adalah untuk mandi dan masak memerlukan biaya tersendiri. Sekali mandi (hanya shower, tanpa ofuro) dikenakan biaya 100 yen/13 menit. Sedangkan untuk biaya sekali masak (pakai gas) dikenakan biaya 10 yen (ukuran pemakaian gasnya kurang kuketahui). Nilai nominalnya mungkin termasuk murah tapi cukup ribet dibuatnya, karena sistem pembayarannya menggunakan koin seperti telpon umum. Masukkan uang logam (100 atau 10 yen) kedalam kotak koin pembayaran lalu anda bisa menggunakan fasilitas mandi dan dapur, sedangkan di apartment lama aku bisa mandi (plus ofuro) dan masak sesuka hati dengan total biaya listrik dan gas sekitar 10 ribu/bulan.

2009/03/30

Para Pendatang Gelap

Catatan: Ini hanyalah sebuah tulisan ringan

Masalah pendatang gelap merupakan masalah krusial bagi negara manapun dalam menghadapi imigran dari luar negeri. Negri jiran sekalipun cukup dipusingkan dengan masalah pendatang haram dari Indonesia sehingga menimbulkan rasa antipati terhadap pendatang dari negara tetangga yang kadang disebut dengan kata berkonotasi negatif Indon. Akhir-akhir ini Jepang, kantor imigrasi Jepang semakin memperketat jalur masuk dan ijin tinggal para imigran di Jepang. Tapi tetap saja yang namanya pendatang gelap punya trik-trik baru untuk mengakali peraturan baru keimigrasian. Kelihatannya semakin ketat peraturan akan semakin menantang para pendatang gelap untuk memanipulasi celah-celah kecil peraturan keimigrasian.


Iklan layanan masyarakat untuk mematuhi peraturan keimigrasian termasuk larangan tinggal di Jepang sebagai imigran gelap

Beberapa bulan terakhir, berita mengenai pendatang gelap atau dalam bahasa Jepang 不法滞在 (Fuhou Taizai) asal Filipina yang memiliki anak yang lahir dan besar di Jepang ramai menghiasi media Jepang. Arlan Cruz Calderon (36) dan istrinya Sarah terbukti melanggar peraturan keimigrasian dengan menggunakan paspor palsu untuk mendapatkan ijin tinggal di Jepang selama 17 tahun. Jaman dulu mungkin Arlan bisa saja memanipulasi data yang dikerjakan pihak imigrasi secara manual. Tetapi setelah belasan tahun lewat dan imigrasi Jepang mulai dilengkapi sistem komputerisasi canggih membuat penipuan belasan tahun tersebut terbongkar. Masalahnya, Sarah melahirkan anak bernama Noriko Calderon 13 tahun yang lalu di negara yang menganut prinsip jus sanguinis seperti Jepang. Kewarganegaraan Noriko menurut sistem Jepang adalah Filipina dan ketika kedua orang tuanya dideportasi kembali ke Filipina, menurut peraturan Noriko juga harus dideportasi. Noriko yang lahir dan besar di Jepang dididik dan bergaul didalam dan luar rumah dengan bahasa Jepang, bahkan untuk berkomunikasi dengan kedua orangtuanya sekalipun. Noriko sama sekali tak bisa berbahasa Tagalog (bahasa Filipina), sehingga bisa dikatakan Noriko secara mental dan sosial budaya adalah orang Jepang. Berkat simpati masyarakat Jepang terhadap Noriko, pihak imigrasi Jepang memutuskan bahwa Noriko berhak tinggal dan menyelesaikan sekolahnya di Jepang. Anda bisa membaca tulisan tentang kisah Noriko bawah ini.

http://community.kompas.com/read/artikel/2532


Kasus lainnya terjadi didepan mata kepalaku sendiri ketika aku sedang mengurus masalah administrasi di kantor imigrasi. Detail kejadiannya tentu saja aku tidak tahu pasti, tetapi berkat petugas administrasi yang terdengar kesal membuat suaranya yang cukup keras bisa didengar orang-orang yang berada disekitar front office imigrasi. Adalah seorang pria Vietnam yang menikah dengan wanita Jepang datang ke kantor imigrasi untuk mengurus ijin tinggal di Jepang. Pria tersebut memperlihatkan surat nikahnya dengan wanita Jepang dengan status duda cerai terhadap mantan istrinya (orang Vietnam juga) yang tinggal di Vietnam. Tanggal perceraian dan pernikahan barunya tidak berselisih terlalu jauh sehingga menimbulkan kecurigaan pihak imigrasi Jepang. Mungkin bagi orang lain hal ini tidak aneh, tetapi bagi pihak imigrasi Jepang yang semakin hari semakin super ketat hal ini termasuk mencurigakan. Entah bagaimana akhir dari kisah pria Vietnam ini, yang pasti sang petugas administrasi menyuruhnya pulang terlebih dahulu.

Mengenai kasus yang dialami orang Indonesia tentunya cukup banyak kuketahui, baik dari pihak kenalanku yang kabur (biasanya disebut OS: Over Stay) maupun dari cerita orang-orang yang berhubungan dengan orang OS. Yang masih lekat diingatanku adalah kasus kaburnya 20 penari yang datang untuk menampilkan tarian tradisional di stand Indonesia dalam AICHI EXPO (AICHI BANPAKU) pada tahun 2005. Setelah acara EXPO selesai, 20 penari yang dijadwalkan pulang lenyap dari hotel tempat mereka menginap. Yang lebih memalukan, kasus 20 penari kabur inii menghiasi acara berita Televisi Jepang. Selain kasus pelajar dan (pendatang dengan visa) turis kabur, prosentase OS terbesar mungkin berasal dari 研修生- Kenshusei atau pekerja training (magang) yang kabur sebelum kontraknya berakhir.


Stand Indonesia dalam Aichi Expo 2005 tempat 20 penari tradisional manggung sebelum kabur

Akhir-akhir ini orang-orang OS merasakan penderitaan menjadi OS di Jepang dengan semakin buruknya perekonomian Jepang akibat krisis ekonomi global. Bayangkan saja, tinggal di Jepang yang dikenal dengan biaya hidupnya yang mahal tetapi dengan penghasilan (gaji) yang semakin menipis akibat pabrik tutup ataupun pengurangan tenaga kerja. Orang asing yang tinggal secara legal di Jepang saja sudah mulai mengap-mengap, bagaimana dengan yang tinggal secara gelap? Selain selalu khawatir tertangkap polisi/pihak imigrasi dan hidup berpindah-pindah, ditambah dengan kondisi ekonomi yang semakin parah membuat hidup sebagai OS di Jepang semakin sulit. Kita semua tahu kalau alasan utama pendatang gelap adalah motif ekonomi. Jika motif tersebut tidak membuat perekonomian mereka semakin membaik, entah apa yang akan mereka lakukan. selain pilihan alternatif "menyerahkan diri" untuk dipulangkan ke Indonesia. Selain itu, citra orang asing yang tinggal legal di Jepang semakin jelek dengan keberadaan orang-orang OS (baca tulisan link diatas).

Bagaimana dengan pendapatku sendiri tentang pendatang gelap? Menurutku sih jika awalnya sendiri sudah berbohong, maka rentetan panjang kebohongan itu akan terus berlanjut untuk menutupi kebohongan pertamanya. Aku banyak melihat bagaimana orang-orang OS justru memperdayai orang lain (termasuk saudaranya sebangsa dan setanah air) demi eksistensi dan keuntungan pribadi mereka. Dengan kata lain, aku tidak setuju dengan kehadiran pendatang gelap dan aku sendiri tidak tertarik untuk menjadi pendatang gelap itu sendiri.

link tulisan lain yang berhubungan:

Imigran Gelap di Indonesia

2009/03/23

Congratulation for The Graduation

In February, everybody in my research laboratory seems very depressed. D3 (Doctorate students 3rd year), M2 (master’s degree students 2nd year) and B4 (Bachelor’s degree students 4th year) struggle to complete their thesis or dissertation when M1 (master’s degree students) like me try to do Shushoku Katsudo (looking for job activity). After every degree candidate finishing their script, they must prepare their self for presentation to defend their thesis.

All I know, each of department have their own regulation to administer presentation for theses defend, even in the same university. Different time regulation also set for each degree student. Here is our material science department’s time regulation:
B4: 5 minutes presentation and 2 minutes question/discuss.
M2: 10 minutes presentation and 5 minutes question/discuss.
D3: 30-40 minutes presentation (I don’t know for doctorate oral defends time, it seems until the professors satisfied)



Every presenter must wear a formal suit during presentation. I’m not sure is this an obligation or not, because this Chiba University student said that they are allowed to wear informal clothes like sweater or T-shirt during presentation.

In March, I found that everybody faces relieved (except M1 of course) because everyone has passed their test although one of B4 must through it with merely adequate points. But the most important thing is they were attending the graduation ceremony which was held in March 21st as the graduates.



Just like usual, we set another nomikai (party) to celebrate the graduation. During the party, every graduate was given the opportunity to convey some message or last impression about our lab, experience, co-worker student, and also our professors and supervisor. Some of them gave common impression, but the others convey a funny one even make a joke with our supervisor (you know that seniority relationship in Japan is strict, but drunkenness can make everyone forget everything).

Well everybody, congratulation with your graduation and keep up with your future life after graduation. On the other hand, M1 still struggle to continue our job hunting activity when at the next month, chuukan happyou (mid-semester presentation) is waiting for us.

Gambarimashou!!!!!