2009/09/01

Home Sweet Home, O My Bitter Homeland

Mudik! Ya, pulang ke negri asal tercinta. Memang sih, bisa pulang juga karena ada urusan dokumen dan tetek bengek lainnya. Tetapi bagaimanapun juga setelah empat tahun merantau ke negara orang tetap saja pulang untuk pertama kalinya mempunyai kesan tersendiri. Ada kesan positif maupun negatif yang kurasakan ketika mencoba mengikuti alur kehidupan kota pinggiran Jakarta, bisa dibilang sebagai upaya adaptasi ulang lingkungan yang pernah kujalani. Tulisan ini tak lebih dari sekedar cara pandangku terhadap perubahan setelah 4 tahun tak pernah berjumpa dengan suasana Indonesia.

Keluarga

Tentu saja tujuan utamaku pulang adalah bertemu dengan keluargaku yang hanya kudengar suaranya saja lewat telepon selama 4 tahun, walaupun alas an pulang secara resmi adalah mengurus dokumen. Ayahku terlihat semakin tua, ibuku juga demikian, kakak tertuaku masih berkerja layaknya pegawai perusahaan swasta Jakarta yang bolak-balik tempat bekerja dan rumah pagi dan petang, adikku yang berstatus mahasiswa tingkat dua tapi lebih keranjingan nge-band dibandingkan belajar hingga membuat orang tuaku geleng-geleng kepala (aku sendiri bingung menghadapinya). Sempat terpikir pulang berkunjung ke Belitung, tapi tak kesampaian. Malah saudara sepupuku datang dari Belitung dan membawa oleh-oleh Mie Bongpin untuk bahan dasar pembuatan Mie Rebus Belitung buatan ibuku yang enaknya ampun-ampunan itu. Selama dirumah, perut dan lidahku benar-benar dimanja oleh masakan ibuku terutama masakan Belitung yang tak pernah kurasakan lagi selama 4 tahun terakhir.


Surat Ijin Mengemudi (SIM)

Salah satu dokumen yang diurus adalah memperpanjang masa pemberlakuan SIM yang telah habis masanya beberapa bulan yang lalu. Aku baru tahu kalau SIM mati kurang dari satu tahun bisa diperpanjang (di Jepang, tenggang waktu hanya 6 bulan saja). Seperti yang telah kutulis mengenai proses memperoleh SIM sebelumnya di kantor urusan SIM Jepang (Menkyou Center), kali ini aku ingin agar data-data diriku dalam SIM Indonesia tertera dengan benar agar tak mendapatkan dampratan lagi dari si polantas Jepang. Nyatanya tetap saja tinggi badanku tak sesuai dengan kenyataan. Kali ini aku komplain pada pak polisi tentang tinggi badanku yang tertera di SIM lebih pendek 5 cm dari tinggi asliku. Pak polisi yang kukomplain malah bilang, "Enggak penting itu, yang penting nama dan alamatku benar!" Malah bapak bertubuh pendek yang menerima SIM sebelumku bilang tingginya di SIM tertera lebih dari semestinya. Kalau misalnya tinggi badan tidak penting, buat apa tertera dengan jelas di SIM? Bukannya sebaiknya dihapus saja dari pada menimbulkan persoalan dikemudian hari (seperti aku misalnya). Karena masih panjang dibelakangku orang mengantri untuk mengambil SIM, terpaksa aku mundur (selain karena komplainku tak direspons). Sekarang aku terpaksa memikirkan strategi baru untuk menjawab pertanyaan yang kira-kira akan dilancarkan oleh polisi Jepang nanti tentang tinggi badan yang berbeda saat mengurus SIM Jepang.


Foto diambil dari lantai 5 Ritz-Carlton Jakarta Pacific Palace, sekitar jalan Sudirman.


Transportasi dan lalu lintas

Masya Allah! Itu yang terlintas dalam pikiranku ketika pertama kali ikutan boncengan dibelakang motor dan melihat cara berkendara sepeda motor orang-orang disekitar. Aku sudah menduga kalau supir angkutan kota (angkot) akan berkelakuan seenaknya, akan tetapi pengendara motor rupanya tak kalah gila-gilaannya. Mereka meluncur mengendarai motor bebeknya bagaikan pilot pesawat zero Jepang pada masa perang pasifik yang tak takut mati melancarkan serangan Kamikaze, bertaruh nyawa demi sampai tujuan lebih dulu dari pengendara lainnya. Benar-benar "mengagumkan" sekaligus membuat hati miris melihat pengendara sepeda motor begitu gagah berani, berani mati, rela bertaruh nyawa demi hal remeh seperti itu. Aku masih takut naik motor sendiri untuk mengarungi rimba jalanan dengan hukum padang pasirnya.

Selain itu juga aku melihat betapa hukum jalanan para pengendara yang berlaku di Jepang dan Indonesia sangat jauh berbeda, terutama yang kucermati adalah penggunaan klakson. Klakson agak jarang digunakan di Jepang, tapi di Indonesia ternyata berkebalikan. Klakson menjadi alat untuk berkomunikasi sesama pengendara bagaikan bebek ber-kwek-kwek satu sama lain. Misalnya saja di tikungan yang arah berlawanannya tak terlihat. Jaman dulu selalu digunakan kaca cembung yang ditempatkan persis di sudut tikungan (sama dengan Jepang hingga sekarang) untuk mencegah kecelakaan. Akan tetapi sekarang kaca cembung malah tak terlihat sama sekali di tikungan, entah memang tak terpasang atau lebih parahnya lagi dicuri oleh maling tak tahu diri yang tak perduli betapa tindakannya bisa merenggut nyawa orang lain. Sebagai gantinya sebelum belok ditikungan, klakson dibunyikan keras-keras supaya pengendara di arah berlawanan sadar ada pengendara lain menuju dirinya sehingga dia lebih berhati-hati. Belum lagi klakson dan kedipan lampu untuk menyatakan "aku mau duluan" yang justru artinya "silahkan duluan" di aturan tak tertulis pengendara Jepang. Kalau pengendara Jepang menyetir di Jakarta, dapat dipastikan dia tidak akan menabrak orang lain, melainkan ditabrak orang.

Paling tidak aku melihat ada sedikit perbaikan manajemen PJKA dalam hal pembelian tiket kereta listrik. Di setiap stasiun kereta terlihat orang antri membeli tiket dan di setiap pintu masuk stasiun terlihat petugas perobek (peremas?) karcis untuk memastikan setiap penumpang membeli karcis naik kereta listrik. Walaupun masih jauh dari sempurna, paling tidak ada usaha untuk "memaksa" penumpang tidak naik gratisan walaupun dengan tiket kereta yang luar biasa murah. Hal lain yang kulihat tak mengalami perubahan berarti adalah gerombolan penumpang atap gerbong kereta. Sekali lagi aku melihat betapa gagah berani dan berani mati bertaruh nyawa demi hal remeh tak mau berdesakan didalam gerbong. Apakah orang Indonesia masih sama gagah berani dan mau bertaruh nyawa demi hal yang lebih positif seperti memberantas korupsi dan ancaman pembesar yang menteror mereka, dengan keberanian yang sama ketika menghadapi masalah lalu lintas?

3 komentar:

giyzt mengatakan...

mampir..saya hanya ikut tersenyum ..boleh ya mas..karena tidak bisa berbuat banyak selain mencoba memperbaiki diri dan memulainya..

Anonim mengatakan...

Indonesia keadaannya memang semrawut, entah apa penyebabnya

Andreas mengatakan...

uda malem aku mala ketawa tawa baca ini artikel. yah, klo mo dibilang beda, dari dasar awal sistem pendidikan aja uda beda. jelas orangnya jg beda, apalagi jumlahnya.

peremas tiket --> sama kek duid seribuan yang uda berkelana dalem sebuah pasar untuk bertahun tahun

hukum padang pasir --> mending nyingkir daripada kena tabrak, lampu merah pun pejalan kaki ga pernah ngerasa aman dsini

aku pernah baca blog2 orang yang kerja di Jepang culture shocknya bener2 kerasa. Tapi hal yang sangat menarik untuk dipelajari mengenai kenyataan perbedaan kehidupan orang Jakarta dan di Jepang