2009/09/20

Lebaran di Jepang........ lagi

Seorang teman menanyakan padaku tentang lebaran di Jepang
"Kiape kabarnye,de jepun mikak lebaran juak ke???"
Arti: "Gimana kabarnya, di jepang kalian lebaran juga nggak???"


Muslim dan Muslimat yang belum pernah mengalami merayakan Idul Fitri di luar negeri, terutama di negara yang mayoritas penduduknya non-muslim, tentu bertanya-tanya seperti apa kondisi dan cara merayakannya. Seperti juga di Jepang yang notabene kebanyakan penduduknya beragama Buddha KTP alias Shinto abangan (tidak pernah ibadah ke Kuil Budha ataupun Jinja secara reguler kecuali ada perlu), umat muslim yang merayakan Idul Fitri mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan gaya hidup penduduk mayoritas.


Sebelum sholat Ied dimulai, para jamaah di luar ruangan Conference Hall Act City Hamamatsu yang tak kebagian tempat di dalam ruangan.

Tahun ini (lebaranku yang ke 4 di Jepang), perayaan Idul Fitri 1 Syawal 1430 H bertepatan pada hari minggu tanggal 20 September 2009 menyebabkan jumlah para peserta sholat Ied membelundak. Bagaimana tidak, hari minggu adalah hari libur yang bertepatan pada Gorenkyuu (hari libur beurutan 5 hari) dari sabtu hingga rabu menyebabkan banyak muslim yang bekerja ataupun sekolah memiliki waktu luang. Di kota tempatku tinggal sendiri yang panitianya menyediakan ruang Conference Hall di Act City cukup kewalahan menampung para jamaah sholat Ied sehingga banyak jamaah yang terpaksa sholat di luar ruangan. Malah menurut temanku yang ikut sholat Ied di Nagoya, penyelenggara mendapatkan ijin melaksanakan ibadah sholat di lapangan luar daerah terbuka yaitu Shirokawa Park. Sungguh hebat panitia sholat Ied Nagoya ini, untuk mendapatkan ijin ibadah dalam jumlah jamaah besar di dalam ruangan saja sulit, mendapatkan ijin pemda Nagoya untuk melakukannya di lapangan luar dengan resiko menarik perhatian orang banyak ternyata berlangsung dengan sukses. Anda tahu sendiri, di Indonesia saja intel bertebaran dimana-mana ketika orang ramai berkumpul mendengarkan ceramah atau pidato, apalagi di luar negeri yang notabene penduduknya mendapatkan pasokan informasi dari media barat yang penuh dengan isu terorisme dan isu pendatang gelap. Sukses buat panitia sholat Ied Nagoya!


Suasana setelah sholat Ied 1 Syawal 1430 Hijriah di Act City

Bagaimana dengan para muslim yang bekerja disaat lebaran, baik Idul Fitri maupun Idul Adha? Seperti yang kita ketahui, Jepang adalah negara industri yang sangat disiplin. Walaupun kita bisa saja minta ijin atau cuti di hari H satu atau setengah hari, tetapi jika skedul perusahaan sedang sibuk, jangan harap bisa memperoleh ijin. Hal yang sama juga berlaku bagi pelajar yang sedang menuntut ilmu di Jepang. Jika bentrok dengan waktu kuliah, silahkan bolos kuliah. Hanya saja tidak semua dosen yang terlalu ambil pusing dengan absen, jadinya pandai-pandai diri mengatur waktu. Kalaupun siswa yang bersangkutan masih bersekolah di SD, SMP atau SMU, mungkin dapat meminta pengertian guru sekolah bersangkutan. Karena itu, jika hari lebaran bertepatan dengan jadwal sholat Ied bisa dibilang merupakan berkah bagi mereka yang bekerja atau bersekolah.

Suasana sholat Ied 1430 Hijriah di Shirokawa Koen, Nagoya (foto oleh Iwan)

Setelah sholat Ied, kira-kira apa yang dilakukan? Jika mengacu pada kondisi di Indonesia terutama di kampung-kampung, bisa dipastikan sangat meriah dipenuhi dengan ajang silaturrahmi antar tetangga, sahabat dan handai tolan. Di jepang (dan kukira sama dengan di negara berpenduduk mayoritas non-muslim lainnya), umat muslim biasanya berkumpul di Masjid (jika ada) atau rumah salah seorang kenalan sambil berbagi makanan khas lebaran yang jarang disantap seperti ketupat. Tahun ini aku sendiri ikut serta di Masjid untuk bersilaturrahmi bersama umat muslim lainnya (walaupun yang kukenal dari para jamaah hanya belasan orang). Di Tokyo sendiri biasanya pihak KBRI menyediakan tempat sholat Ied sekaligus ruang untuk bersilaturrahmi setelah sholat Ied atau juga Dubes RI untuk Jepang mengadakan open house, lengkap dengan sajian penganan khas lebaran juga.


Suasana setelah sholat Ied 1 Syawal 1430 Hijriah di Shirokawa Park, Nagoya (foto oleh Iwan)


Setelah itu barulah masing-masing orang pulang ke rumah dan menghubungi pihak keluarga di Indonesia, baik orang tua maupun sanak saudara dengan telepon ataupun lewat jaringan internet. Bagaimanapun juga, suasana lebaran bagi yang jauh dari orang tua terasa sepi. Karena itu berbahagialah bagi anda yang berlebaran di kampung halaman dan dapat langsung mencium tangan orang tua selagi sempat dan masih memiliki waktu. Aku sendiri hanya bisa membayangkan wajah kedua orang tuaku sambil bersilaturrahmi lewat telepon dengan beliau.

Akhir kata, saya mengucapkan selamat Idul Fitri 1430 H. Mohon ma'af lahir dan bathin jika ada kata yang salah selama saya menulis di blog ini. Semoga Allah SWT mengijinkan kita kembali bertemu dengan bulan Ramadhan yang penuh rahmat tahun depan.

2009/09/01

Maafkan aku Indonesiaku

Duhai Indonesiaku
Maafkanlah diriku
Karena telah meremehkanmu
Setelah berpisah 4 tahun yang lalu

Melihat semrawutnya lalu lintas mu
Merasakan kacaunya tatanan sosial masyarakatmu
Meragukan keamanan yang terlihat semu
Membuatku merendahkanmu

Duhai Indonesiaku
Sejak kembali kepangkuanmu
Aku selalu merasa resah dalam bahaya
Selalu berhati-hati dan waspada

Mataku melirik kanan kiri dengan curiga
Khawatir akan marabahaya
Oleh orang-orang disekitar
Entah copet, maling, atau rampok mencari mangsa

Duhai Indonesiaku
Dibanding negeri tempatku sekarang menuntut ilmu
Aku memang telah melecehkanmu
Tetapi aku telah terlanjur tetap mencintaimu

Maafkan aku Indonesiaku

Home Sweet Home, O My Bitter Homeland

Mudik! Ya, pulang ke negri asal tercinta. Memang sih, bisa pulang juga karena ada urusan dokumen dan tetek bengek lainnya. Tetapi bagaimanapun juga setelah empat tahun merantau ke negara orang tetap saja pulang untuk pertama kalinya mempunyai kesan tersendiri. Ada kesan positif maupun negatif yang kurasakan ketika mencoba mengikuti alur kehidupan kota pinggiran Jakarta, bisa dibilang sebagai upaya adaptasi ulang lingkungan yang pernah kujalani. Tulisan ini tak lebih dari sekedar cara pandangku terhadap perubahan setelah 4 tahun tak pernah berjumpa dengan suasana Indonesia.

Keluarga

Tentu saja tujuan utamaku pulang adalah bertemu dengan keluargaku yang hanya kudengar suaranya saja lewat telepon selama 4 tahun, walaupun alas an pulang secara resmi adalah mengurus dokumen. Ayahku terlihat semakin tua, ibuku juga demikian, kakak tertuaku masih berkerja layaknya pegawai perusahaan swasta Jakarta yang bolak-balik tempat bekerja dan rumah pagi dan petang, adikku yang berstatus mahasiswa tingkat dua tapi lebih keranjingan nge-band dibandingkan belajar hingga membuat orang tuaku geleng-geleng kepala (aku sendiri bingung menghadapinya). Sempat terpikir pulang berkunjung ke Belitung, tapi tak kesampaian. Malah saudara sepupuku datang dari Belitung dan membawa oleh-oleh Mie Bongpin untuk bahan dasar pembuatan Mie Rebus Belitung buatan ibuku yang enaknya ampun-ampunan itu. Selama dirumah, perut dan lidahku benar-benar dimanja oleh masakan ibuku terutama masakan Belitung yang tak pernah kurasakan lagi selama 4 tahun terakhir.


Surat Ijin Mengemudi (SIM)

Salah satu dokumen yang diurus adalah memperpanjang masa pemberlakuan SIM yang telah habis masanya beberapa bulan yang lalu. Aku baru tahu kalau SIM mati kurang dari satu tahun bisa diperpanjang (di Jepang, tenggang waktu hanya 6 bulan saja). Seperti yang telah kutulis mengenai proses memperoleh SIM sebelumnya di kantor urusan SIM Jepang (Menkyou Center), kali ini aku ingin agar data-data diriku dalam SIM Indonesia tertera dengan benar agar tak mendapatkan dampratan lagi dari si polantas Jepang. Nyatanya tetap saja tinggi badanku tak sesuai dengan kenyataan. Kali ini aku komplain pada pak polisi tentang tinggi badanku yang tertera di SIM lebih pendek 5 cm dari tinggi asliku. Pak polisi yang kukomplain malah bilang, "Enggak penting itu, yang penting nama dan alamatku benar!" Malah bapak bertubuh pendek yang menerima SIM sebelumku bilang tingginya di SIM tertera lebih dari semestinya. Kalau misalnya tinggi badan tidak penting, buat apa tertera dengan jelas di SIM? Bukannya sebaiknya dihapus saja dari pada menimbulkan persoalan dikemudian hari (seperti aku misalnya). Karena masih panjang dibelakangku orang mengantri untuk mengambil SIM, terpaksa aku mundur (selain karena komplainku tak direspons). Sekarang aku terpaksa memikirkan strategi baru untuk menjawab pertanyaan yang kira-kira akan dilancarkan oleh polisi Jepang nanti tentang tinggi badan yang berbeda saat mengurus SIM Jepang.


Foto diambil dari lantai 5 Ritz-Carlton Jakarta Pacific Palace, sekitar jalan Sudirman.


Transportasi dan lalu lintas

Masya Allah! Itu yang terlintas dalam pikiranku ketika pertama kali ikutan boncengan dibelakang motor dan melihat cara berkendara sepeda motor orang-orang disekitar. Aku sudah menduga kalau supir angkutan kota (angkot) akan berkelakuan seenaknya, akan tetapi pengendara motor rupanya tak kalah gila-gilaannya. Mereka meluncur mengendarai motor bebeknya bagaikan pilot pesawat zero Jepang pada masa perang pasifik yang tak takut mati melancarkan serangan Kamikaze, bertaruh nyawa demi sampai tujuan lebih dulu dari pengendara lainnya. Benar-benar "mengagumkan" sekaligus membuat hati miris melihat pengendara sepeda motor begitu gagah berani, berani mati, rela bertaruh nyawa demi hal remeh seperti itu. Aku masih takut naik motor sendiri untuk mengarungi rimba jalanan dengan hukum padang pasirnya.

Selain itu juga aku melihat betapa hukum jalanan para pengendara yang berlaku di Jepang dan Indonesia sangat jauh berbeda, terutama yang kucermati adalah penggunaan klakson. Klakson agak jarang digunakan di Jepang, tapi di Indonesia ternyata berkebalikan. Klakson menjadi alat untuk berkomunikasi sesama pengendara bagaikan bebek ber-kwek-kwek satu sama lain. Misalnya saja di tikungan yang arah berlawanannya tak terlihat. Jaman dulu selalu digunakan kaca cembung yang ditempatkan persis di sudut tikungan (sama dengan Jepang hingga sekarang) untuk mencegah kecelakaan. Akan tetapi sekarang kaca cembung malah tak terlihat sama sekali di tikungan, entah memang tak terpasang atau lebih parahnya lagi dicuri oleh maling tak tahu diri yang tak perduli betapa tindakannya bisa merenggut nyawa orang lain. Sebagai gantinya sebelum belok ditikungan, klakson dibunyikan keras-keras supaya pengendara di arah berlawanan sadar ada pengendara lain menuju dirinya sehingga dia lebih berhati-hati. Belum lagi klakson dan kedipan lampu untuk menyatakan "aku mau duluan" yang justru artinya "silahkan duluan" di aturan tak tertulis pengendara Jepang. Kalau pengendara Jepang menyetir di Jakarta, dapat dipastikan dia tidak akan menabrak orang lain, melainkan ditabrak orang.

Paling tidak aku melihat ada sedikit perbaikan manajemen PJKA dalam hal pembelian tiket kereta listrik. Di setiap stasiun kereta terlihat orang antri membeli tiket dan di setiap pintu masuk stasiun terlihat petugas perobek (peremas?) karcis untuk memastikan setiap penumpang membeli karcis naik kereta listrik. Walaupun masih jauh dari sempurna, paling tidak ada usaha untuk "memaksa" penumpang tidak naik gratisan walaupun dengan tiket kereta yang luar biasa murah. Hal lain yang kulihat tak mengalami perubahan berarti adalah gerombolan penumpang atap gerbong kereta. Sekali lagi aku melihat betapa gagah berani dan berani mati bertaruh nyawa demi hal remeh tak mau berdesakan didalam gerbong. Apakah orang Indonesia masih sama gagah berani dan mau bertaruh nyawa demi hal yang lebih positif seperti memberantas korupsi dan ancaman pembesar yang menteror mereka, dengan keberanian yang sama ketika menghadapi masalah lalu lintas?