Akhir-akhir ini, aku cukup dipusingkan dengan masalah parkir di sekolah (Universitas Shizuoka.) Negara maju seperti Jepang memang memiliki masalah lahan parkir yang semakin besar, bersamaan dengan meningkatnya tingkat penjualan dan kepemilikan kendaraan bermotor, terutama mobil. Apalagi kalau diingat Jepang termasuk negara industri mobil besar dunia, sehingga bisa dimaklumi kalau mobil-mobil yang berseliweran di Jepang sangat banyak macam, model dan jumlahnya.
Yang membuat aku pusing bukan masalah parkir mobil, toh aku tidak memiliki satu biji mobilpun. Statusku yang cuma mahasiswa hanya paling kuat untuk memiliki motor saja, itupun motor skuter. O iya, Jepang mengklasifikasi jenis motor dan unten menkyo (Surat Ijin Mengemudi) berdasarkan tingkat cc kendaraan、tiap jenis motor memiliki jenis menkyo masing-masing dengan tingkat ujian berbeda.
1. Gentsuki (skuter) 50 cc atau kurang
2. Chuugata (mesin sedang) 51 - 125 cc
3. OOgata (mesin gede) 126 - 400 cc
Kampusku memulai tahun ajaran 2008 dengan peraturan baru yang bikin aku kesal, walaupun aku memahami maksud mereka yang ingin mengatur kendaraan siswanya. Setiap sepeda dan motor harus dikasih stiker (sejenis peneng) yang menyatakan bahwa sepeda/motor dengan stiker dimiliki oleh siswa. Tanpa stiker, sepeda akan diangkut oleh petugas untuk disingkirkan dan motor dilarang masuk/parkir dikampus. Bagaimana dengan mobil? Jangankan parkir, mobil siswa masuk kampus aja harus pakai surat ijin dari satpam. Itupun dengan syarat kondisi darurat.
Memangnya kenapa aku harus kesal? Alasan apa aku nggak boleh memperoleh stiker untuk ditempel di Gentsuki-ku? Jawaban pengurus kampus sederhana saja. Pemilik motor harus memiliki alamat tinggal dengan radius sejauh lebih dari satu kilometer dari kampus. Jika kurang dari 1 kilometer, dipersilahkan untuk jalan kaki atau naik sepeda supaya para siswa bisa sedikit berolahraga. Walaupun aku sudah komplain dengan berbagai alasan, mereka tetap saja bilang peraturan adalah peraturan.
Sebenarnya sih aku nggak keberatan jalan kaki dari kos-kosan kekampus. Masalahnya adalah waktu yang dipakai untuk jalan kaki bagiku bisa digunakan untuk hal lain. Lumayan kan waktu 2x15 menit dipakai buat kerja part-time? Alternatif lainnya adalah pakai sepeda. Sejak punya motor, sepedaku sudah jadi barang rongsokan dan dibuang. Apa aku harus beli sepeda lagi hanya karena motorku tidak boleh parkir dikampus?
Terpaksa motorku mulai diparkir di lapangan besar sebelah kampus yang biasanya digunakan untuk umum. Itupun tidak berlangsung lama, karena ternyata siswa yang bernasib sama denganku berjumlah cukup banyak. Hasilnya, parkir dilapangan besar itupun ditutup untuk siswa dan dijaga oleh kakek-kakek galak yang siap menyemprot siswa kampus tetangga yang berani parkir motor disitu.
Bagaimana sekarang? Sekesal-kesalnya, tetap saja nggak bisa masuk area parkir dalam kampus ataupun parkir di lapangan tetangga. Ujung-ujungnya parkir di area parkir khusus sepeda, sambil main kucing-kucingan sama petugas satpam supaya jangan sampai ketangkap parkir motor ditempat parkir khusus sepeda. Hal ini nggak tau bisa sampai kapan, karena jumlah siswa yang pakir motor di area ini semakin banyak (otomatis semakin gampang ketahuan sama petugas satpam). Benar-benar reseh.......
2 komentar:
Wah, susah juga kalo begitu, yusahrizal-san.
Sekarang gimana? Apa masih tetep sama kondisinya?
Sekarang sih terpaksa jalan kaki. Satpam kampus patroli melulu, kalo ada motor diparkir di parkiran sepeda bakalan ditempel peringatan sekaligus dicatet nomor platnya. Kalo ketangkep beberapa kali, motor bakalan diangkut :(
Posting Komentar